by

Kampung Saukobye Menolak Bandar Antariksa, Satelit Tak Bisa Kami Makan, Tapi Alam Beri Kehidupan

Pasang

NKRIKU.COM – Biak menyimpan banyak kisah getir, warga kerap terusir dari negerinya sendiri. Oleh operasi militer, gelombang tsunami, dan kini rencana pembangunan bandar antariksa. Tapi mereka tak tinggal diam, terus melawan demi generasi penerus.

TEMPIK sorak bergema di Balai Pertemuan Desa Andei, Distrik Biak Utara, Papua, Rabu 11 April 2018.

Pamong Pemerintah Kabupaten Biak, TNI, polisi, maupun tokoh adat, berseru senang. Keempat jenderal yang datang langsung dari Jakarta juga begitu, bungah.

Namun, semua keriaan lindap pada lima belas menit terakhir sebelum acara sosialisasi pembangunan Bandar Antariksa Biak ditutup.

Baca Juga:
BRIN Sudah Gelar Studi Kelayakan di Biak untuk Bangun Bandar Antariksa

Pendeta Gerson S Abrauw maju ke hadapan para jenderal. Ia datang bersama sepupunya, Marten yang merupakan mananwir atau kepala adat marga Abrauw, pemilik sah tanah ulayat yang akan dijadikan lokasi bandar antariksa oleh LAPAN.

“Kami, pemegang hak tanah ulayat, belum setuju tanah moyang menjadi lokasi pembangunan bandar antariksa,” kata Pendeta Gerson, tidak takut-takut.

Semua orang terdiam, kaget, tidak menyangka ada suara penolakan. Satu dari empat jenderal dari ibu kota berdiri dari tempat duduknya.

“Jumlah kalian berapa? Berapa jumlah kepala keluarga kalian?”

“Jumlah marga kami memang sedikit, pasti kalah kalau perhitungan jumlah. Tapi yang mau dijadikan tempat peluncuran satelit itu tanah moyang kami,” jawab Gerson.

Baca Juga:
Kesiapan Lahan dan Investor Syarat Utama Bangun Bandar Antariksa di Indonesia

Lancar sang pendeta menjelaskan alasan penolakan rencana pembangunan bandar antariksa kepada wakil pemerintah yang hadir.

Kalau tanah ulayat mereka diambilalih, kemudian dibangun bandar antariksa, identitas sukunya hilang. Marga Abrauw yang tercatat dalam hukum adat Warbon akan punah. Mereka tak mungkin direlokasi, karena pasti berkonflik dengan suku lain.

“Di Papua, setiap jengkal tanah dimiliki marga tertentu. Kami akan mati.”

Mendengar penjelasan pendeta Gerson, salah satu jenderal lainnya ikut berdiri dan angkat bicara.

“Oke, walau sebagian besar sudah setuju, tetap ada yang berkeberatan. Akan kami sampaikan ke bapak presiden.”

Pertemuan kemudian ditutup, semua yang hadir ikut foto bersama dengan para jenderal, tapi tidak Pendeta Gerson dan Marten. Mereka langsung berjalan menuju pintu keluar.

Tapi baru beberapa langkah berjalan, terdengar suara orang berteriak di hadapan. Dia adalah Lukas Krobo, pensiunan militer.

“Siapa yang mau halang-halangi  pembangunan ini? Tidak bisa!” hardik Lukas.

Abrauw bersaudara tak menggubris, membuat Lukas semakin emosi.

“Kalian akan berhadapan dengan kami!”

Gerson dan Marten diam, tapi tetap berjalan menuju pintu keluar balai.

Lukas semakin beringas, terus berteriak, “Saudara dari mana?  Kau baru datang, kok menyampaikan yang berbeda.”

Gerson dan Marten mempercepat langkah. Lukas hendak menyerang keduanya. Tapi polisi berhasil menahannya.

Sang padri tetap mengunci mulutnya rapat-rapat meski hatinya kesal setengah mati.

“Kami hanya memperjuangkan tanah leluhur. Adakah yang salah dari itu?” Gerson membantin.

Kerisauan, senyatanya bukan hanya milik Gerson bersaudara maupun marga Abrauw. Kegentaran soal penggusuran juga bergelayut di kepala 567 orang penghuni Kampung Warbon.

Kampung Warbon—yang akan dijadikan tempat bandar antariksa—ikut ditempati marga Ampnir, Dimara, Kapitarauw, Erbo, Sermumes, Rumruren, Mansuben, Rumbrar, Ruamikel, dan Dorwari.

Ada pula suku luar Papua di sana: Toraja, Buton, Batak, Jawa, Makassar, dan Ambon. Total 126 kepala keluarga yang dapat bermukim dan berladang karena hibah tanah dari marga Abrauw.

Marga Abrauw menghibahkan tanah ulayat kepada mereka semua, bukan menjual. Pantang bagi mereka menjual tanah moyang. Tanah dan seisinya milik bersama.

Arina Kapitarauw ikut gelisah. Dia ingin sekali hidup tentram bersama sang suami di Kampung Warbon, di sisa umurnya yang tak lagi muda.

Tapi apa boleh buat, kabar pembangunan bandar antariksa membuat pikirannya membuncah. Arina benar-benar takut suatu saat dipaksa meninggalkan rumah dan tanah garapannya.

“Saya tak mau LAPAN bangun bandar antariksa. Tempat kami mencari makan. Kalau pindah, tidak bisa makan,” kata Arina mencerocos.

Rasa khawatir dan takut Arina berlipat-lipat, karena bukan kali ini ia menghadapi ancaman terusir dari tanahnya sendiri.

Ingatan atas dua peristiwa yang membuatnya terusir dari negeri moyangnya sendiri pada masa lampau, kembali menyusup ke kepala Arina.

Dibakar tentara

TAHUN 1970, Herman Kapitarauw senang bukan kepalang, pondoknya sudah gagah berdiri memunggungi pantai Biak Utara.

Melihat bait selesai dibangun, menjadi kegembiraan tersendiri bagi Herman di tengah situasi yang masih mencekam.

Herman bertekad melanjutkan hidup sebagai nelayan, meskipun kontak tembak masih sering terjadi antara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan gerilyawan Organisasi Papua Merdeka.

Peperangan dimulai setahun sebelumnya, setelah Penentuan Pendapat Rakyat digelar 14 Juli – 2 Agustus 1969. Banyak orang asli Papua protes, menilai Pepera penuh kecurangan. Mereka ingin merdeka sebagai negara bangsa.

Pulau Biak, tempat Herman hidup, adalah daerah operasi militer yang dikuasai ABRI. Tentara masih rutin berpatroli, menyisir kampung, hutan, maupun pantai yang dicurigai sebagai tempat persembunyian gerilyawan.

Herman sebenarnya sudah memunyai rumah di perkampungan korem. Tapi jarak dari kampung ke laut tempatnya mencari ikan terbilang jauh.

Karenanya, dia memutuskan membangun pondok berbahan kayu di dekat pantai. Atapnya berbahan campuran, daun kelapa serta daun sagu.

Herman meniru warga kampungnya yang lebih dulu membangun teratak seperti itu di sana. Ayah, ibu, dan seorang saudara laki-lakinya juga ikut mendirikan pondok di pantai.

Berita Populer  Longsor Pangalengan Jenis Translasi Luncuran, Ancam Rumah di Sekitarnya

Maka, Herman dan sang istri—Eferdina Denara—memulai kehidupan baru bersama kelima anak mereka: tiga perempuan dan dua lelaki.

Sehari-hari, Herman pergi melaut mencari ikan untuk dijual di pasar. Arina, anak keempatnya, sering membantu Herman membuat jala dari akar-akaran yang diambil dari hutan. Tak seperti di tempat-tempat lain, tidak ada nilon untuk jala di Biak Utara.

Arina memunyai tempat tersendiri di hati Herman. Putrinya yang baru berusia 10 tahun itu sering diajaknya melaut, naik perahu.

Kerap pula, setelah menyandarkan perahu, Herman memanjat pohon kelapa memetik buahnya untuk diberikan kepada Arina. Air kelapa muda di pantai sangat banyak dan manis, membuat lega tenggorokan Arina.

Setiap pagi, Arina dan anak-anak seusianya berjalan kaki berangkat ke sekolah. Empat kilometer jaraknya. Arina baru pulang ke rumah setiap pukul satu siang.

Eferdina—istri Herman—seperti mama-mama lain, giat menggarap ladang yang ditanami talas, singkong, ubi jalar, sirih, pinang, serta sayuran.

Hasil ladang tidak dijual, hanya untuk dimakan sekeluarga. Mereka belum sepenuhnya bergantung hidup dari hasil bercocok tanam.

Barulah setiap Sabtu sore, Herman sekeluarga maupun warga lain yang beragama Kristen, pulang ke rumah masing-masing di kampung korem untuk beribadah di gereja.

Kehidupan bersahaja orang-orang pantai terus berlangsung dari hari ke hari, hingga terhenti saat derap sepatu lars mendatangi pondok mereka.

Suatu malam, tentara Indonesia menyisir rumah-rumah di perkampungan korem. Sepi, tidak ada cahaya tanda aktivitas orang-orang di dalamnya.

Ke mana warga? pikir mereka. Di pantai, Arina pulas tertidur bersama keluarganya. Begitu pula nelayan lainnya.

Subuh, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Cahayanya masih berusaha menembus gelap yang perlahan pudar, tapi Arina tersentak dari tidur. Terdengar kegaduhan di luar gubuk.

“Keluar semua, keluar!” Arina mendengar orang berteriak.

Herman keluar pondok, mendapati segerombolan tentara sudah menempati posisi masing-masing dengan sikap siaga.

“Kau… kau… semua yang laki-laki, baris!” perintah seorang tentara.

“Berlutut semua,” serdadu lainnya memberi perintah.

Arina bersama ibu ikut keluar pondok. Banyak tentara bersenjata laras panjang. “Apa yang terjadi?” tanya Arina dalam benak.

Dia melihat ayahnya, tete (kakek), dan bapa muda (paman) ikut berlutut di hadapan tentara. Mama-mama menangis. Arina ikut menangis, menjerit-jerit.

“Jangan tangkap… jangan tangkap,” kata Eferdina.

Arina terus menangis di dekat mama. Tentara mulai menginterogasi setiap lelaki yang berlutut, termasuk Herman dan adik laki-lakinya.

“Kenapa tidak tinggal di kampung,” hardik tentara.

“Tinggal di pantai untuk apa kalian?”

Tentara yang lain menuding, “Mau kasih makan OPM kah?”

“Sa tinggal di sini bukan gabung atau kasih makan OPM,” jawab Herman.

“Tidak. Sa di sini kerja, melaut, berkebun. Sudah biasa dari orang tua,” kata tete Arina, menimpali.

Jawaban mereka tak memuaskan para serdadu. Di hadapan anak-anak, para mama dan nenek, tentara memukuli bokong semua lelaki yang berlutut.

Ada pula tentara yang menerjang. Herman dan yang lainnya mengerang kesakitan, terkena popor senapan maupun sepatu lars.

Suara isak tangis mama dan anak-anak semakin nyaring. Mereka berteriak ketakutan, meminta aparat berhenti memukuli suami-anak mereka. 

“Bapak melaut, hanya melaut, jangan pukul,” teriak Arina sembari menangis.

Mereka semua dikumpulkan, diminta meninggalkan pantai dan kembali ke kampung. Pondok yang mereka bangun dari bahan seadanya dibakar. 

“Pulang semua. Pulang, sudah ada kampung korem,” perintah tentara setelah puas memukuli.

“Bakar semua pondok,” perintah komandan yang langsung dituruti bawahannya.

Tak perlu waktu lama, si jago merah lahap melalap pondok-pondok kayu beratap daun, termasuk milik Herman.

Herman sempat bengong. Habis sudah pondok yang susah payah dibangunnya. Mama menangis, Arina juga, habis sudah kenangannya bersama bapak di pantai.

Bagi Arina, tinggal di kampung korem sama sekali tidak indah seperti di pondok pantai. Pada hari-hari tertentu, semua orang diminta kerja bakti melakukan pembangunan di kampung. Bila tidak ikut, ganjarannya dipukul tentara.

Ada pula yang disuruh tentara untuk jalan masuk ke hutan, menjadi mata-mata. Diminta melihat-lihat, ada atau tidak gerilyawan.

Warga serba salah. Kalau tak mau masuk hutan, pasti dipukuli tentara. Jika masuk hutan jadi mata-mata dan ketahuan gerilyawan, pasti dibunuh. Arina tumbuh menjadi dewasa di tengah semua kegetiran itu.

Digusur tsunami

SABTU 17 Februari 1996, Arina masih berkabung. Empatpuluh hari sebelumnya, sang mama meninggal dunia.

Arina berusaha menekan kesedihan, menyibukkan diri dengan berberes-beres kamar, sekaligus menyiapkan pakaian untuk beribadah di gereja keesokan hari.

Usianya sudah hampir berkepala empat, persisnya tigapuluh enam tahun. Lima orang anak ia lahirkan, sejak menikah dengan Barkolius Rohwa tahun 1990.

Sesudah menikah, mereka membangun rumah panggung berbahan kayu. Letaknya tak jauh dari bibir pantai, tapi masih di kawasan kampung korem.

Tapi hari itu, Arina hanya berdua suami di rumah. Dua anaknya sedang berada di Kota Biak. Satu lagi di Manokwari. Dua lainnya berada di rumah Herman, menghibur sang tete.

Barkolius yang baru pulang melaut lekas-lekas ke dapur, membersihkan ikan hasil tangkapannya. Dibakar langsung ikan itu untuk disantap menuntaskan lapar.

Sembari menyantap ikan bakar di atas meja makan, Barkolius memutar musik rohani dari pita kaset. Arina masih asyik berberes-beres.

Berita Populer  Operator Putuskan Tunda Buka Wisata Malam Kebun Raya Bogor

Sekitar pukul 15.00, Barkolius mendadak berhenti mengunyah. Rumah panggungnya bergetar. Kayu penyangga rumah yang saling bergesekan, berderit.

“Hei ko (kau) sombong sekali, jangan goyang,” kata Arina, kesal.

Dia mengira suaminya sedang bergoyang diiringi musik, karena saking nikmatnya ikan yang disantap.

“Bukan saya goyang!”

Guncangan semakin kencang, Barkolius meninggalkan meja makan, lekas-lekas menuruni anak tangga, keluar rumah, memastikan keadaan. 

“Hei, ko (kau) turun, gempa! Sebentar lagi rumah patah,” teriaknya. 

Arina terbirit-birit keluar. Dia berjalan merangkak, karena goncangan kuat. Saat menuruni anak tangga, dia terjatuh ke tanah, disusul jaring ikan yang menimpa tubuhnya. 

Saat ia mampu bangkit, gempa telah berhenti. Barkolius kembali ke dalam rumah, mau menikmati kembali ikan bakarnya.

“Lihat anak-anak,” perintahnya ke Arina. 

Arina yang masih berada di bawah, melihat ke arah lautan. Angin berembus kencang. Pepohonan bergoyang hebat. Daun-daun pohon kelapa terhempas hebat. Bayu yang berembus disertai suara desisan seperti gas yang bocor. 

“Hei bapak, ini apa yang bunyi? Angin atau ombak?” tanyanya, berteriak ke Barkolius. 

Suaminya turun kembali, melihat ke arah laut. Dari kejauhan gelombang yang perlahan membesar datang.  

“Larrrrriiiiii!” Barkolius mendadak memberi perintah.

“Tidak bapak. Saya susul anak-anak dulu.”

“Sudah, jangan, lari saja. Ayo laarrrriiii….”

Keduanya berlari ke arah gedung sekolah, diikuti warga lain yang berusaha menyelamatkan diri. Dalam gedung, sudah ada warga lain yang lebih dulu berlindung. Di antaranya, Arina melihat banyak mama beserta anak-anak dan bayi.

“Kamu berlindung itu kalau hujan, boleh. Ini ombak. Ayo ke tempat tinggi,” kata Arina, mengingatkan.

Gelombang laut pertama belum meluluh lantakkan kampung, namun perahu-perahu milik warga sudah terangkat, terombang-ambing. Barkolius sempat melihat, salah satu yang terseret arus adalah perahu miliknya.

Tak lama, gelombang kedua dan ketiga datang bergantian. Air perlahan masuk kampung, menyapu semua benda dan bangunan.

Arina dan suaminya sudah berada di tempat yang lebih tinggi. Dalam keadaan basah kuyup, mereka  menyaksikan banyak korban yang terbawa harus.

Anak berusia bulanan hingga tahunan tak bisa diselamatkan. Banyak anak-anak dan bayi terlepas dari dekapan mamanya. Begitu juga orang tua yang sudah berumur, tak berdaya disapu tsunami.

Setelah tsunami kembali ke laut, Arina melihat rumah-rumah hancur. Begitu pula sekolah, kantor pos, kantor polisi, ruko-ruko pasar, porak-poranda, tak lagi berbentuk.

Jenazah bertebaran di mana-mana, dari yang muda hingga orang tua. Suara tangisan dan minta tolong terdengar, semakin membuat pemandangan itu mengerikan bagi Arina. 

Terlintas dalam pikirannya, bagaimana keadaan kedua anaknya. Syukur baginya, kedua buah hatinya  yang diduduk di kelas enam dan lima SD, selamat. 

Arina sempat kembali ke rumahnya, berharap ada beberapa barang yang tersisa. Sayang, semua tersapu gelombang. Hanya baju di badan yang tersisa.

Beberapa hari setelah peristiwa nahas, bantuan berdatangan, mulai pakaian hingga bahan makanan. Tenda-tenda didirikan, untuk tempat tinggal sementara. 

Gempa 7 skala richter dan tsunami setinggi 7 meter menelan 39 korban jiwa, terutama anak-anak. Bahkan ada bayi berusia dua minggu. 

Arina menangis, untuk kali kedua melihat rumahnya tergusur. Kali ini oleh tsunami.

Kala situasi mulai membaik, rumah-rumah sederhana didirikan. Warga yang trauma, termasuk Arina memilih pindah.

Mereka membabat hutan belantara untuk dijadikan kampung baru yang dinamakan Warbon. Kelak, Arina dan korban tsunami lainnya harus menghadapi kekhawatiran penggusuran lain. Saat terbit rencana pembangunan bandar antariksa Biak.

Biak bukan tanah kosong

LANGIT cerah berwarna biru dengan awan putih lembut menemaninya, Rabu 2 Maret 2022. Senada dengan kaos biru bergradasi putih yang dikenakan Welmina Rumadas.

Welmina duduk di kursi plastik ditemani perempuan berusia 53 tahun bernama Maria Abrauw, saat saya dan Permata Adinda, jurnalis Project Multatuli, bertamu, pagi menjelang siang.

“Kenapa mama menolak bandar antariksa?” tanya saya.

“Satelit tidak bisa kami makan, tapi alam memberikan kami penghidupan,” jawabnya.

Dia bercerita banyak hal. Welmina menjadi saksi hidup Tsunami 1996. Ketika tsunami setinggi pohon kelapa mengantam rumahnya yang berada di bibir pantai Biak, Welmina masih duduk di bangku SMP kelas satu.

“18 keluarga saya jadi korban. Saya punya bapa muda, tante, sepupu.”

Welmina Rumadas. [NKRIKU.COM/Yaumal Hasri Adi Hutasuhut]Welmina Rumadas. [NKRIKU.COM/Yaumal Hasri Adi Hutasuhut]

Tahun 1996, alam memaksa dia dan keluarganya pindah, namun kini ia terancam tergusur oleh pembangunan yang mereka tidak tahu manfaatnya.

“Biak ini bukan tanah kosong. Kami (hanya punya) lahan kecil, di mana orang tua kami berkebun.  Jadi seandainya bangunan itu berdiri, kami tidak punya lahan lagi untuk hidup. Kami menolak pembangunan itu.”

Welmina salah satu perempuan yang paling keras menolak pembangunan bandar antariksa di Biak.  Dia khawatir, pembangunan itu membuat mereka kehilangan tempat hidup.

“Biak bukan tanah kosong, ada pemilik-pemiliknya. Kami tidak bisa serahkan sejengkal pun untuk bandar antariksa!”

Maria Abrauw yang  duduk berseberangan dengan Welmina, turut meresahkan hal sama. Biarlah tragedi tsunami yang sudah menggusur kehidupan mereka dari pesisir pantai, tapi tidak dengan pembangunan bandar antariksa.  

“Tempat ini tong hidup dari dulu. Dari tete hidup di sini sampai saya punya anak, punya cucu dan sampai sekarang jadi nenek, hidup dari situ (lahan yang diambilalih LAPAN).”

“Jadi dong bosan di sini (perkampungan) dong pergi ke pantai. Saya senang. Saya sakit, mandi air garam. Tong mancing, tangkap ikan, bakar, rebus. Jadi kami tidak mau,” tegasnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya.

Berita Populer  Peneliti BRIN Berhasil Menemukan Katak Jenis Spesies Baru Bermulut Sempit

Patok tanda klaim lahan milik LAPAN yang ada di wilayah hutan adat Abrauw, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Rabu (2/3/2022). [Jubi/Theo Kelen]Patok tanda klaim lahan milik LAPAN yang ada di wilayah hutan adat Abrauw, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Rabu (2/3/2022). [Jubi/Theo Kelen]

Mama menolak bandar antariksa

KAMIS 3 Maret 2022, hujan baru saja reda sekitar pukul 09.00 WIT. Tersisa gerimis menggantung di langit Kampung Warbon.

Arina Kapitarauw mengenakan baju abu-abu bertuliskan ‘Hello’ ketika membukakan pintu.

Dia tersenyum menyambut kami. Bibir dan giginya merah, sisa pinang dan buah sirih, serta kapur yang biasa dikonsumsinya setiap hari. Meski sudah berusia 62 tahun, gigihnya masih utuh.

Rumahnya berukuran sekitar lima kali delapan meter, bercat hijau di bagian depan. Halamannya luas, ditumbuhi rumput pendek yang tertata rapi. Di bawah pohon tersusun rapi potongan kayu berbentuk persegi panjang. 

“Itu untuk bangun dapur lagi, biar lebih luas lagi toh,” kata dia kepada saya dan Adinda.

Dalam rumah, terdapat dua kamar tidur dekat ruang tamu. Satu lagi di dekat dapur. Ruang tamu diisi meja dan beberapa kursi yang semuanya terbuat dari plastik.

Di dinding berjejer beberapa gambar berbingkai kaca, dua di antaranya dua pemuda menggunakan toga.

Berjarak sekitar satu meter, terdapat meja kayu dengan televisi layar datar berukuran 21 inci di atasnya. Hanya itu barang elektronik yang terlihat.

Sejak pukul lima subuh, Arina sudah sibuk di dapur. Memasak keladi dan sayuran yang diambil dari kebunnya. Dia belum berangkat ke ladangnya pagi itu. 

“Hujan dari pagi,” kata dia. 

Dari arah dapur, suaminya, Barkolius Rohwa yang sudah berumur 65 tahun ikut bergabung. Dia duduk di sebelah Arina.

Pada usia yang sudah lebih setengah abad, mereka hanya menginginkan kehidupan tenang. Buah sirih, pinang, dan sayuran tumbuh subur di ladangnya, dari sana mereka menggantungkan hidup. Bahkan, bisa sampai menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi.

Namun, tiga tahun terakhir, ada keresahan yang tidak bisa mereka sembunyikan. Wajah keduanya langsung muram. Mata mereka memandang kosong menghadap ke dinding, ketika mengingat rencana pembangunan bandar antariksa di dekat kampung.

Sejak 2018, kabar pembangunan bandar antariksa santer terdengar di telinga masyarakat. Di kantor pemerintah, bupati sering mengadakan sosialisasi.

Para pamong berharap warga Kampung Warbon mendukung proyek tersebut, karena diklaim bisa meningkatkan perekonomian setempat. Beberapa kali pejabat dari Jakarta juga datang  berkunjung meninjau lokasi. 

Arina dan suaminya mengartikan lain pembangunan itu. Mereka berpeluang tergusur. Ladang mereka, tempat bergantung hidup akan hilang. Itu yang mereka khawatirkan. 

“Mama tidak mau. Kita punya hidup di situ. Berkebun. Ke laut. Turun-temurun. Mau cari makan di mana?” kata Arina, dengan nada suara berat. 

“Aduh, mama, jangan,” timpal Barkolius.

Di Kampung Warbon, keduanya kembali menata hidup. Mereka bangkit dari tragedi tsunami 96. Barkolius kembali melaut dan berkebun.

Hasilnya, dua orang anak mereka menjadi sarjana dan tinggal bekerja di Jakarta dan Jayapura. Satu anaknya akan masuk perguruan tinggi. Satu lagi sedang berusaha bergabung menjadi TNI, setelah tahun lalu gagal. 

Karena usianya semakin sepuh, Barkolius sejak lima tahun silam, sudah berhenti melaut. Dia fokus berkebun.

 “Saya baru ini berkebun, karena faktor usia toh. Saya tidak melaut lagi.” 

Kami dibawa Barkolius Rohwa ke ladangnya. Dia mengenakan topi, karena matahari pukul 11  bersinar terik.

Ia juga memakai sepatu bot berwarna kuning. Di tangan kirinya tergenggam golok panjang. Pada tangan kanan, tergenggam buah pinang. 

“Ini golok saya beli di Jayapura, saat mengunjungi saya punya anak.”

Kami bertiga berjalan sekitar 500 meter dari rumahnya. Jalanan cukup luas, dapat dilalui satu mobil. Sekitar lima belas menit berjalan, kami berbelok ke arah kiri. Melewati jalan setapak di antara semak belukar.

“Ini luasnya satu hektare,” kata Barkolius, sesampainya di ladang. 

Ladang Barkolius ditanami tumbuhan jangka panjang, dengan harapan dapat diwariskan ke anak-cucu. Ada sirih yang buahnya bergelantung di antara daun-daunnya yang lebat. Pohon pinang tumbuh menjulang ke atas. Di ujung, daunnya lebat, begitu juga buahnya.

Ada pula pohon pinang yang baru ditanam. Warna batang dan daunnya hijau. Tingginya sekitar 40 sentimeter. Ada juga tanaman lainnya seperti alpukat, singkong, dan sayuran. 

“Panen sekali seminggu dari pohon sirih dan pinang. Sekali seminggu bisa dapat Rp 5 juta.”

Berjarak sekitar 500 meter dari ladang Barkolius, terdapat patok lahan 100 hektare yang diklaim milik LAPAN.

“Saya tidak mau ada bandar antariksa. Tetapi saya tidak tahu berbuat apa. Anak cucu ini hidupnya bagaimana. Saya punya kehidupan di sini, anak-anak saya hidup di sini,” kata Barkolius, menundukkan kepala.

Barkolius Rohwa, bukan asli orang Biak. Dia pendatang dari kota Serui. Dia merantau sejak umur 15 tahun. Kemudian menikah dengan Arina.

Tanah tempat rumahnya berdiri, dan ladang yang dia garap, hibah dari marga Abrauw—pemilik tanah ulayat.

Barkolius mengakui memunyai lahan di Serui. Tapi dia terlanjur sayang pada Kampung Warbon.

“Saya sudah sayang tempat ini. Bapak mertua saya kasih lahan. Saya tinggal di sini. Saya punya anak berhasil dari sini. Kalau bandar antariksa dibangun, bagaimana nasib anak cucu saya.”